BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kanker merupakan mutasi genetic
karena DNA sel normal mengalami kerusakan. Perbanyakan sel yang rusak akan
berpotensi menghasilkan sel kanker. Kerusakan DNA sel dapat terjadi karena
radikal bebas dan zat pemicu kanker (karsinogen). Radikal bebas merupakan
molekul yang kehilangan pasangan electron dan berusaha mencuri electron dari
sel tubuh. Sedangkan zat karsinogen berasal dari makanan. Zat yang semula prokarsinogen
diubah oleh enzim jahat dalam tubuh menjadi zat pemicu kanker.
Jumlah penderita kanker di dunia setiap tahun bertambah 6,25 juta orang, dua
per tiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Data Departemen Kesehatan menunjukkan jumlah
penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari populasi (Padmi, 2008).
1.2 Rumusan
masalah
1.2.1
Apa
definisi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis ?
1.2.2
Apa
etiologi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis ?
1.2.3
Apa
manifestasi klinis dari faringitis, laringitis dan tonsilitis ?
1.2.4
Apa
klasifikasi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis ?
1.2.5
Bagaimana
asuhan keperawatan dari faringitis, laringitis dan tonsilitis?
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui
definisi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis.
1.3.2
Mengetahui
etiologi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis.
1.3.3
Mengetahui
manifestasi klinis dari faringitis, laringitis dan tonsilitis.
1.3.4
Mengetahui
klasifikasi dari faringitis, laringitis dan tonsilitis.
1.3.5
Mengetahui
asuhan keperawatan dari faringitis, laringitis dan tonsilitis.
1.4 Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang penyakit faringitis,
laringitis dan tonsillitis.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Medis Faringitis
2.1.1 Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya
seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong
ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal
ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
esofagus.panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm;
bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket)
dan otot. Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring
dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng
berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel
jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk
dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga
daerah pertahanan tubuh terdepan.
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap
melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang
terletak atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang.
Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh
udara yang diisap. Palut ini mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk
proteksi.
Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkuler) dan
memenjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar,
berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersarafi n.vagus (n.X).otot-otot yang longitudinal adalah
m.stilofaring dan m.palatofaring. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring
dan menarik rahang, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan. M.stiofaring
dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X
(Rusmarjono,et.al., 2001).
2.1.2 Definisi
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu
penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan oleh
bakteri atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
(Wikipedia.com).
Faringitis adalah radang pada faring yang biasanya
disebabkan oleh bakteri dan virus. (Ngastiyah, 2005)
Pengertian faringitis
itu sendiri menurut kamus Dorland merupakan peradangan yang terjadi pada daerah
faring. Peradangan pada faring yang terjadi karena virus atau bakterialis akut
adalah penyakit yang sangat sering terjadi. Yang paling logis untuk
mengelompokkan sejumlah infeksi – infeksi ini, adalah dibawah judul yang
relatif sederhana, yaitu “faringitis akut”.
2.1.3 Etiologi
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab common cold, flu,
adenovirus, mononukleosis atau HIV. Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah
streptokokus grup A, korinebakterium, arkanobakterium, Neisseria gonorrhoeae
atau Chlamydia pneumoniae.
2.1.4
Virus
atau Bakteri
|
Ketidak
Seimbangan Nutrisi
(Bedrest)
|
Nutrisi
Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
|
Penumpukan
Secret
|
Bersihan
Jalan Nafas Tidak Efektif
|
Lapisan
Epitel Dinding Faring
|
Malaise
|
Disfagia/Anorexia
|
Proses
Inflamasi
|
Keterbatasan
Informasi
|
Nyeru
akut
|
Faringitis
|
Resti
Infeksi
|
Adanya
Organisme Infektif
|
Kurang
Pengatahuan (Cemas)
|
Sakit
Tenggoroan
|
2.1.5 Tanda
dan Gejala
Tanda dan gejala dari faringitis seperti :
1)
Pada
gejala awal penyakit, penderita umumnya merasakan rasa gatal dan kering pada
tenggorokannya.
2)
Malaise
(kelemahan) dan juga sakit kepala merupakan gejala yang sering ditemukan karena
adanya proses peradangan pada faring.
3)
Selain
itu, suhu tubuh bisa mengalami sedikit kenaikan (subfebris).
4)
Eksudat
(lendir) pada faring menebal (karena pada awal penyakit terjadi peningkatan
produksi eksudat). Eksudat ini biasanya sulit untuk dikeluarkan. Untuk
mengeluarkannya biasanya dengan batuk.
5)
Suara
menjadi parau/serak karena peradangan juga mengenali laring.
6)
Selain
itu, biasanya penderita mengalami kesulitan menelan (disfagia) akibat nyeri
telan.
7)
Nyeri
bisa dirasakan hingga ke telinga.
8)
Pada
pemeriksaan akan dijumpai faring yang berwarna kemerahan dan kering.
9)
Pada
jaringan limfoid tampak berwarna kemerahan dan bengkak.
Streptococcus group A merupakan bakteri penyebab faringitis
akut yang paling sering, kira-kira 15 sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5
sampai 10 % pada oang dewasa. Biasanya terdapat riwayat infeksi tenggorokan
oleh bakteri Streptococcus sebelumnya. Insidensi faringitis yang disebabkan
oleh streptococcus meningkat pada musim dingin. Gejala dapat berupa rasa sakit
pada tenggorokan, nyeri saat menelan, demam, pusing, nyeri perut, mual dan
muntah. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring
dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula,
limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua
gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa
eksudatif. Anak-anak dibawah tiga tahun dapat disertai coryza dan krusta
hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini. (Alan,
et.al.,2001).
2.1.6 Klasifikasi
Berdasarkan lama berlangsungnya faringitis dibedakan menjadi
:
1)
Faringitis
akut, adalah radang tenggorok yang disebabkan oleh virus dan bakteri yaitu
streptokokus grup A dengan tanda dan gejala mukosa dan tonsil yang masih
berwarna merah, malaise, nyeri tenggorok dan kadang disertai demam dan batuk. Faringitis
ini terjadinya masih baru, belum berlangsung lama.
2)
Faringitis
kronis, radang tenggorok yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama, biasanya
tidak disertai nyeri menelan, cuma terasa ada sesuatu yang mengganjal di
tenggorok. Faringitis kronis umumnya terjadi pada individu dewasa yang bekerja
atau tinggal dalam lingkungan berdebu, menggunakan suara berlebihan, menderita
batu kronik, dan kebiasan menkonsumsi alcohol dan tembakau.
Faringitis kronik dibagi menjadi 3,
yaitu:
a. Faringitis hipertrofi, ditandai dengan
penebalan umum dan kongesti membrane mukosa.
b. Faringitis atrofi kemungkinan merupakan
tahap lanjut dari jenis pertama (membrane tipis, keputihan, licin dan pada
waktunya berkerut).
c. Faringitis granular kronik terjadi
pembengkakan folikel limfe pada dinding faring.
2.1.7 Penatalaksanaan
Untuk faringitis virus penanganan dilakukan dengan
memberikan aspirin atau asetaminofen cairan dan istirahat baring. Komplikasi
seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri karena adanya
nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus sehingga untuk mengatsi komplikasi
ini dicadangkan untuk menggunakan antibiotika.
Untuk faringitis bakteri paling baik diobati dengan
pemberian penisilin G sebanyak 200.000-250.000 unit, 3-4 kali sehari selama 10
hari. Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat
dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Erritromisin atau klindamisin
merupakan obat alin dengan hasil memuaskan jika penderita alergi terhadap
penisilin. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain
terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu
meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula
meringankan gejala nyeri tenggorokan dan hal ini dapat disarankan pada
anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama.
2.1.8 Komplikasi
Penyakit ini, jika dibiarkan sampai menjadi berat, dapat
menimbulkan radang ginjal (glomerulonefritis akut), demam rematik akut, otitis
media (radang telinga bagian tengah), sinusitis, abses peritonsila dan abses
retropharynx (radang di sekitar amandel atau bagian belakang tenggorokan yang
dapat.
1) Otitis media purulenta bakterialis
Daerah
telinga tengah normalnya adalah steril. Bakteri masuk melalui tube eustacius
akibat kontaminasi sekresi dalam nasofaring.
2) Abses Peritonsiler
Sumber
infeksi berasal dari penjalaran faringitis/tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil.
3) Glomerulus Akut
Infeksi
Streptokokus pada daerah faring masuk ke peredaran darah, masuk ke ginjal.
Proses autoimun kuman streptokokus yang nefritogen dalam tubuh meimbulkan bahan
autoimun yang merusak glomerulus.
4) Demam Reumatik
Infeksi
streptoceal yang awalnya ditandai dengan luka pada tenggorok akan menyebabkan
peradangan dan pembentukan jaringan parut pada katup-katup jantung, terutama
pada katup mitral dan aorta.
5) Sinusitis
Sinusitis
adalah radang sinus yang ada disekitar hidung dapat berupa sinusitis maksilaris
/ frontalis. Sinusitis maksilaris disebabkan oleh komplikasi peradangan jalan
napas bagian atas (salah satunya faringitis), dibantu oleh adanya faktor
predisposisi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal dan dapat juga
campuran seperti streptokokus, pneumokokus, hemophilus influenza dan kleb
siella pneumoniae.
6) Meningitis
Infeksi
bakteri padadaerah faring yang masuk ke peredaran darah, kemudian masuk ke
meningen dapat menyebabkan meningitis.Akan tetapi komplikasi meningitis akibat
faringitis jarang terjadi.
2.1.9 Prognosis
Sebagian besar faringitis dapat sembuh spontan dalam 10 hari,
namun sangat penting untuk mewaspadai terjadinya komplikasi pada faringitis
(Kazzi,at.al.,2006).
2.2Konsep
Medis Laringitis
2.2.1 Anatomi
Laring adalah struktur epitel
kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah
untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melinduni jalan nafas
bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering disebut
sebagai kontak suara yang terdiri atas:
1)
Epiglotis – daun
katup kartilago yang menutupi ostium kearah laring selama menelan.
2)
Glotis – Ostium
antara pita suara dalam laring.
3)
Kartilago
tiroid – Kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini membentuk
jakun (adams apple).
4)
Kartilago
krikoid – Satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam faring (terletak
dibawah kartilago tiroid).
5)
Kartilago
aritenoid – Digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid.
6)
Pita suara –
Ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara, pita
suara melekat pada lumen laring
2.2.2 Definisi
Laringitis adalah inflamasi laring (ensiklopedia
keperawatan).
Laringitis adalah peradangan yang terjadi pada pita suara
karena terlalu banyak digunakan, karena iritasi atau karena adanya infeksi.
Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot dan
membran mukosa yang membentuk pintu masuk dari batang tenggorok (trachea). Di
dalam kotak suara terdapat pita suara—dua buah membran mukosa yang terlipat dua
membungkus otot dan tulang rawan (http://www.sehatgroup.web.id/).
Biasanya pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar,
membentuk suara melalui pergerakan dan getaran yang terbentuk. Tapi bila
terjadi laringitis, pita suara akan meradang atau terjadi iritasi pada pita
suara. Pita suara tersebut akan membengkak, menyebabkan terjadinya perubahan
suara yang diproduksi oleh udara yang lewat melalui celah diantara keduanya.
Akibatnya, suara akan terdengar serak. Pada beberapa kasus laringitis,
suara akan menjadi sangat lemah sehingga
tidak terdengar.
Laringitis dapat berlangsung dalam waktu singkat (akut) atau
berlansung lama (kronis) lebih dari 3 minggu. Meskipun laringitis akut biasanya
hanya karena terjadinya iritasi dan peradagnan akibat virus, suara serak yang
sering terjadi dapat menjadi tanda adanya masalah yang lebih serius. (http://www.news-medical.net/)
2.2.3
Etiologi
Inflamasi laring sering terjadi sebagai akibat terlalu banyak menggunakan
suara, pemajanan terhadap debu, bahan kimiawi, asap, dan polutan lainnya, atau
sebagai bagian dari infeksi saluran nafas atas. Kemungkinan juga disebabkan
oleh infeksi yang terisolasi yang hanya mengenai pita suara.
Sebagian besar kasus laringitis sementara dipicu oleh infeksi virus atau
regangan vokal dan tidak serius. Tapi suara serak kadang-kadang merupakan tanda
yang lebih serius dari kondisi medis yang mendasari. Sebagian besar kasus
laringitis berakhir kurang dari beberapa minggu dan disebabkan cuaca dingin.
Penyebab yang paling sering adalah infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya common cold). Laringitis juga bisa menyertai bronkitis,
pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri.
1)
Laringitis Akut
Pada
laringitis akut biasanya penyebabnya oleh infeksi virus. Infeksi bakteri
seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi.
Laringitis akut dapat juga terjadi saat anda menderita suatu penyakit atau
setelah anda sembuh dari suatu penyakit, seperti selesma, flu atau radang
paru-paru (pneumonia). (http://www.klinikindonesia.com/)
a.
Laringitis
akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza
atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe
1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae.
b.
Penyakit
ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
c.
Pemakaian
suara yang berlebihan
d.
Trauma
e.
Bahan
kimia
f.
Merokok
dan minum-minum alkohol
g.
Alergi
2)
Laringitis Kronik
Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk
juga iritasi yang terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang
berlebihan, banyak merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam
kerongkongan dan tenggorokan, suatu kondisi yang disebut gastroesophageal
reflux disease (GERD).
Laringitis kronis adalah inflamasi dari membran mukosa
laring yang berlokasi di saluran nafas atas, bila terjadi kurang dari 3 minggu
dinamakan akut dan disebut kronis bila terjadi lebih dari 3 minggu.
Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis
akut berulang, terpapar debu atau asap iritatif atau menggunakan suara tidak
tepat dalam konteks neuromuskular. Merokok dapat menyebabkan edema dan eritema
laring. (Abdurrahman MH, 2006,13-20)
3)
Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis
spesifik ialah laringitis tuberkulosis dan laringitis luetika.
a. Laringitis
tuberkulosis
Penyakit ini hampir selalu akibat tuberkulosis paru.
Biasanya pasca pengobatan, tuberkulosis paru sembun tetapi laringitis
tuberkulosis menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang
melekat pada kartilago serta vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga
bila infeksi sudah mengenai kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung lama.
Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri
dari 4 stadium yaitu :
1)
Stadium
infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis, dapat mengenai
pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga tampak bintik berwarna
kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa tuberkel berdekatan bersatu sehingga
mukosa diatasnya meregang sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus
2)
Stadium
ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus
diangkat, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri.
3)
Stadium
perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago laring terutama
kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi kerusakan tulang rawan.
4)
Stadium
pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara dan subglotik.
b. Laringitis
luetika
Radang menahun ini jarang dijumpai dalam 4 stadium lues yang
paling berhubungan dengan laringitis kronis ialah lues stadium tersier dimana
terjadi pembentukan gumma yang kadang menyerupai keganasan laring. Apabila guma
pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus sangat dalam, bertepi dengan
dasar keras, merah tua dengan eksudat kekuningan. Ulkus ini tidak nyeri tetapi
menjalar cepat
laringitis
akut
|
Laringitis
kronis
|
·
Rhinovirus
·
Parainfluenza virus
·
Adenovirus
·
Virus mumps
·
Varisella zooster virus
·
Penggunaan asma inhaler
·
Penggunaan suara berlebih dalam pekerjaan :
Menyanyi, Berbicara dimuka umum Mengajar
·
Alergi
·
Streptococcus grup A
·
Moraxella catarrhalis
·
Gastroesophageal refluks
|
·
Infeksi
bakteri
·
Infeksi
tuberkulosis
·
Sifilis
·
Leprae
·
Virus
·
Jamur
·
Actinomycosis
·
Penggunaan
suara berlebih
·
Alergi
·
Faktor
lingkungan seperti asap, debu
·
Penyakit
sistemik : wegener granulomatosis, amiloidosis
·
Alkohol
·
Gatroesophageal
refluks
|
2.2.4
Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi
bakteri mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau
nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap
perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas.
Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi
seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus
yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran
nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran
nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara
berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang
terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu
terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri
akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang
peningkatan suhu tubuh. (Elizabeth J. Corwin 2000 , 432).
Virus/Bakteri
|
Bahan
Kimiawi
|
Debu/Asap
|
Iritasi
Mukosa Sal. Nafas Atas
|
Nyeri
|
Demam
|
Suhu
Tubuh
|
Merangsang
Kelenjar Mucus
|
Infeksi
|
Inflamasi
|
Produksi
Mucus Berlebih
|
Pengeluaran
Mediator kimia darah
|
Gg.
Rasa nyaman Nyeri
|
Menggunakan
Suara Berlebihan
|
Infeksi
Sal. Nafas Atas
|
Bersihan
Jalan Nafas Tidak Efektif
|
Pengeluaran
Sputum
|
Penyumbatan
Sal.Nafas
|
Batuk
Hebat
|
2.2.5 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari laringitis
seperti :
1) Gejala lokal seperti suara parau dimana
digambarkan pasien sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau
suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi
gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan
kanan sehingga menimbulkan suara menjadi parau bahkan sampai tidak bersuara
sama sekali (afoni).
2) Sesak nafas dan stridor.
3) Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika
menalan atau berbicara.
4) Gejala radang umum seperti demam,
malaise.
5) Batuk kering yang lama kelamaan
disertai dengan dahak kental.
6) Gejala commmon cold seperti
bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal
congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak
mengalami peningkatan dari 380C.
7) Gejala influenza seperti bersin-bersin,
nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri
kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 380C,
dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.
8) Pada pemeriksaan fisik akan tampak
mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita
suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau
paru.
9) Obstruksi jalan nafas apabila ada udem
laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya
sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin
bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan
epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam
jiwa anak. (http://www.news-medical.net/)
a. Laringitis Akut
Demam, malaise, gelaja rinigaringitis, suara parau sampai afoni, nyeri
ketika menelan atau berbicara, rasa kering ditenggorokan, batuk kering yang
kelamaan disertau dahak kental, gejala sumbatan laring sampai sianosis.
Pada pemeriksaan, tampak mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama di
atas dan bahwa pita suara. Biasanya tidak terbatas di laring, juga ada tanda
radang akut dihitung sinus peranasak, atau paru.
b. Laringitis
Kronik
Suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok sehingga sering
mendehem tanpa sekret. Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis. Tidak
rata, dan menebal. Bila tumor dapat dilakukan biopsi. (www.blogsehat.com)
c. Laringitis
tuberkulosis
Terdapat gejala demam, keringat malam, penurunan berat badan, rasa kering,
panas, dan tertekan di daerah laring, suara parau beriminggu-minggu dan pada
stadium lanjut dapat afoni, bentuk produktif, gemoptisis, nyeri menelan yang
lebih hebat bila gejala-gejala proses aktif pada paru. Dapat timbul sumbatan
jalan napas karena edema: tumberkuloma, atau paralysis pita suara.
2.2.6
Klasifikasi
Sesuai dengan stadium dari penyakit, pada laringoskop akan terlihat:
·
Stadium
infiltrasi
Mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan pucar.
Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, tampak sebagai bintik-bintik kebiruan.
Tuberkel membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya meregang. Bila pecah akan
timbul ulkus.
·
Stadium
ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan terasa.
·
Stadium
perikondritis
Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, kartilagi aritenoid, dan
epiglottis/ terbentuk nanah yang berbau sampai terbentuk sekuester. Keadaan
umum pasien sangat buruk, dapat fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara, dan subglotik.
2.2.7 Penatalaksanaan
1)
Laringitis Akut
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita
suara, antibiotik, menambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan
efek samping yang menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyayi dan para
profesional yang mengandalkan suara perlu dinasehati agar membiarkan proses
radang mereda sebelum melanjutkan karier mereka. Usaha bernyayi selama proses
radang berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan nodul
korda vokalis selanjutnya. Terapi pada laringitis kronis terdiri dari
menghilangkan penyebab, koreksi gangguan yang dapat diatasi, dan latihan
kembali kebiasaan menggunakan vocal dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi
singkat steroid dapat mengurangi proses radang untuk sementara waktu, namun
tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan
efek samping juga dapat membantu. Pada pasien dengan gastroenteriris refluks
dapat diberikan reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan
hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan. Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan
trakeostomi bila terjadi sumbatan laring.
Hindari iritasi pada laring dan faring. Untuk terapi mendikamentosa
diberikan antibiotic penisilin anak 3 x 0 kg BB dan dewasa 3 x 500 mg. bila
alergi dapat diganti eritromisin atau basitrasin. Dan diberikan kortikosteroid
untuk mengatasi edema. Dipasang pipa endotrakea atau trakeostomi bila terdapat
sumbatan laring.
2)
Laringitis Kronik
Diminta untuk tidak banyak bicara dan mengonati peradangan di hitung,
faring, serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab. Diberikan antibiotik bila
terdapat tanda infeksi dan ekspektoran. Untuk jangka pendek dapat diberikan
steroid.
Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa
minggu dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar
berhubungan dengan pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan
inhalasi yang paling sering memicu laringitis kronis tetapi laringitis juga
dapat terjadi akibat menghisap kanabis atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus
ini, pasien sebaiknya dijauhkan dari faktor pemicunya seperti dengan
menghentikan kebiasaan merokok.
3)
Laringitis Tuberkulosis
Pengobatan dengan mengistirahatkan pita suara dan dengan
pemberian obat anti nyeri biasanya telah mencukupi.
Pemberian obat antituberkulosis primer dan
skunder. Pada
infeksi bakteri, antibiotik yang tepat harus diberikan.Trakeostomi bila timbul sumbatan jalan napas. (Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, 2003).
2.2.8 Peneriksaan
Penunjang
1) Foto rontgen leher AP : bisa tampak
pembengkakan jaringan subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50%
kasus.
2) Pemeriksaan laboratorium : gambaran
darah dapat normal. Jika disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.
3) Pada pemeriksaan laringoskopi indirek
akan ditemukan mukosa laring yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran
serta tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus
elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.
Laringitis Akut
Pemeriksaan apusan dari laring untuk kultur dan uji resistensi pada kasus
yang lama atau sering residif.
Laringitis
tuberkulosis
Pemeriksaan laboratorium hasil tahan asam dari sputum atau bilasan lambung,
foto toraks menunjukkan tanda proses spesifik baru, laringoskopi langsung/tak
langsung, dan pemeriksaan PA. (Mansjoer,
Arif.1999, 125)
2.2.9
Prognisis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik
dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3
tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga
dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan
pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik. (www.blogsehat.com)
2.3 Konsep
Medis Tonsilitis
2.3.1
Anatomi
Cincin waldeyer jaringan limfoid
yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatine dan
tonsil faringeal (adenoid). Unsure yang lain adalah tonsil lingual, gugus
limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba
eustachius.
Massa jaringan limfoid yang
terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh
pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke
dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh :
ü Lateral : m. konstriktor faring superior
ü Anterior
: m. palatoglosus
ü Posterior
: m. palatofaringeus
ü Superior : palatum mole
ü Inferior
: tonsillingual
Secara mikroskopik tonil terdiri atas 3 komponen yaitu
jaringan ikat, folikel germinativun (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel.
2.3.2
Definisi
Tonsil merupakan
kumpulan besar jaringan limfoid di belakang faring yang memiliki keaktifan
munologik (Ganong, 1998). Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar
ke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung
dan tenggorokan, oleh karena itu, tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Tonsilitis adalah infeksi atau peradangan pada tonsil. Tonsilitis akut
merupakan inveksi tonsil yang sifatnya akut, sedangkan tonsillitis kronik
merupakan tonsillitis yang terjadi berulang kali (Sjamsuhidayat & Jong,
1997).
2.3.3 Etiologi
Menurut
Adams George (1999), tonsilitis bakterialis supuralis akut paling sering
disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
1) Pneumococcus,
2) Staphilococcus,
3) Haemalphilus influenza,
4) Kadang streptococcus non
hemoliticus atau streptococcus viridens.
Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.
1) Streptococcus B hemoliticus grup A,
2) Streptococcus viridens,
3) Streptococcus pyogenes,
4) Staphilococcus,
5) Pneumococcus,
6) Virus,
7) Adenovirus,
8) ECHO,
9) Virus influenza serta herpes.
Menurut
Firman S (2006), penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi
virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya
sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh
bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan
tonsillitis.
2.3.4
Patofisiologi
Bakteri
(dalam udara/ makanan)
|
Peradangan
Tonsil
|
Prod. Secret
|
MK :
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
|
Tonsilitis
|
Pembesaran
Tonsil
|
Peningkatan
Suhu Tubuh
|
Benda Asing
Di Jalan Nafas
|
Diprose
|
MK : Kekurangan
Vol. Cairan
|
Obstruksi
Jalan Nafas
|
Obstruksi
Mekanik
|
MK :
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
|
Tonsilektomi
|
Kekurangan
Pengetahuan
|
MK : Gg.
Rasa Nyaman (Nyeri)
|
MK :Resiko
Kerusakan Menelan
|
Anoreksia
|
MK : Resiko
Perubahan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan
|
Resiko
Perdarahan
|
Darah Di
Saluran Nafas
|
MK :
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
|
Virus
(dalam udara/ makanan)
|
2.3.5
Tanda Dan Gejala
Gejalanya berupa
nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita menelan) nyeri seringkali
dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan yang
sama).
Gejala lain :
1) Demam
2) Tidak
enak badan
3) Sakit
kepala
4) Muntah
Menurut Mansjoer, A (1999) gejala tonsilitis antara lain :
1) Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan
2) Tenggorokan
terasa kering
3) Persarafan
bau
4) Pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak
rata, kriptus membesar dan terisi detritus
5) Tidak
nafsu makan
6) Mudah
lelah
7) Nyeri
abdomen
8) Pucat
9) Letargi
10) Nyeri kepala
11) Disfagia
(sakit saat menelan)
12) Mual
dan muntah
Gejala pada tonsillitis akut :
1) Rasa gatal / kering di tenggorokan
2) Lesu
3) Nyeri
sendi
4) Odinafagia
5) Anoreksia
6) Otalgia
7) Suara serak (bila laring terkena)
8) Tonsil
membengkak
Berdasrkan rasio
perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar
anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
ü T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
ü T1 : <25% volume tonsil dibandingkan
dengan volume orofaring
ü T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan
dengan volume orofaring
ü T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan
volume orofaring
ü T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan
volume orofaring
2.3.6
Klasifikasi
Macam-macam
tonsillitis menurut Imam Megantara (2006) :
1) Tonsillitis akut
Disebabkan
oleh streptococcus pada hemoliticus, streptococcus viridians, dan streptococcus
piogynes, dapat juga disebabkan oleh virus.
2) Tonsilitis falikularis
Tonsil
membengkak dan hiperemis, permukaannya diliputi eksudat diliputi bercak putih
yang mengisi kipti tonsil yang disebut detritus. Detritus ini terdapat
leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan dan sisa-sisa makanan yang
tersangkut.
3) Tonsilitis Lakunaris
Bila
bercak yang berdekatan bersatu dan mengisi lacuna (lekuk-lekuk) permukaan
tonsil.
4) Tonsilitis Membranosa (Septis Sore
Throat)
Bila
eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak tersebut menyerupai
membran. Membran ini biasanya mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih
kekuning-kuningan.
5) Tonsilitis Kronik
Tonsillitis
yang berluang, faktor predisposisi : rangsangan kronik (rokok, makanan)
pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan hygiene mulut
yang buruk.
2.3.7
Penatalaksanaan
1) Jika penyebabnya bakteri, diberikan
antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan
menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2) Pengangkatan tonsil (tonsilektomi)
dilakukan jika :
a.
Tonsilitis
terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
b.
Tonsilitis
terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
c.
Tonsilitis
terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
d.
Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian
antibiotik.
Menurut Mansjoer,
A (1999) penatalaksanan tonsillitis adalah:
1) Penatalaksanaan
tonsilitis akut
a.
Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5
hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan
diberikan eritromisin atau klindomisin.
b.
Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c.
Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk
menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan
tenggorok 3x negatif.
d.
Pemberian
antipiretik.
2) Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a.
Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur
/ hisap.
b.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi
medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Tonsilektomi
menurut Firman S (2006), yaitu :
1) Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga
harus dipuasakan, membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
2) Teknik Pembedahan
Anestesi
umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan terlentang dengan
kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi mulut ditahan
terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan. Penyedotan
harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil diangkat
dengan diseksi/ quillotine.
Metode
apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara lengkap.
Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam ruang post
nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat
ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.
3) Perawatan Paska-bedah
a.
Berbaring
ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
b.
Memantau
tanda-tanda perdarahan:
ü Menelan berulang
ü Muntah darah segar
ü Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
c.
Diet
ü Memberikan cairan
bila muntah telah reda
ü Mendukung posisi
untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih nyaman dari ada kepingan kecil).
ü Hindari pemakaian
sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
ü Menawarkan makanan
ü Es crem, crustard dingin, sup krim, dan
jus.
ü Refined sereal dan telur setengah
matang biasanya lebih dapat dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
ü Hindari jus jeruk,
minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu selama 1 minggu.
ü Mengatasi ketidaknyamanan pada
tenggorokan
ü Menggunakan ice
color (kompres es) bila mau
ü Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
ü Melaporkan segera
tanda-tanda perdarahan.
ü Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut
hilang.
ü Mengajari pasien mengenal hal berikut
ü Hindari latihan berlebihan, batuk,
bersin, berdahak dan menyisi hidung segera selama 1-2 minggu.
ü Tinja mungkin seperti teh dalam
beberapa hari karena darah yang tertelan.
ü Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit
bertambah antara hari ke-4 dan ke-8 setelah operasi.
2.3.8
Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik
menurut Mansjoer, A (1999), yaitu :
1) Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan
palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptococcus group A.
2) Otitis media akut
Infeksi
dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga.
3) Mastoiditis akut
Ruptur
spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid.
4) Laringitis
5) Sinusitis
6) Rhinitis
2.3.9
Pencegahan
Untuk mencegah
penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri anak serta
memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak. Selain itu juga diberikan imunisasi yang terdiri
dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 ASKEP
FARINGITIS
A. Pengkajian
1.
Identitas
Pasien
2.
Keluhan
Utama :
a. Pasien
mengatakan nyeri dan merasa tidak nyaman pada daerah leher.
b. Pasien
mengatakan mual dan muntah.
c. Pasien
mengatakan sakit saat menelan.
3.
Riwayat
Keperawatan :
a. Riwayat
Kesehatan Sekarang
Mengkaji data
subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi: Alasan masuk rumah
sakit.
b. Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah
sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan
penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah
mengalami infeksi pada saluran tenggorokan dan pernah menjalani perawatan di
RS.
c. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam
keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
4.
Pemeriksaan
Fisik
a.
Keadaan
Umum, yaitu dengan mengobservasi bentuk tubuh, warna kulit, kesadaran, dan
kesan umum pasien (saat pertama kali MRS).
b.
Gejala
Kardinal, yaitu dengan mengukur TTV (suhu, nadi, tekanan darah, dan respirasi.
c.
Keadaan
Fisik, yaitu melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dari kepala
sampai anus, tapi lebih difokuskan pada bagian leher.
d.
Pemeriksaan
Penunjang, yaitu dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan uji kultur dan uji
resistensi.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan secret.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
4. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi,
kesulitan bernapas.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan
dengan adanya organisme infektif.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan
terbatasnya informasi.
C. Intervensi
1. DX
1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri pasien berkurang /
hilang dengan kriteria hasil :
a.
Laporkan
frekuensi nyeri.
b.
Kaji
frekuensi nyeri.
c.
Lamanya
nyeri berlangsung.
d.
Ekspresi
wajah terhadap nyeri.
e.
Kegelisahan.
f.
Perubahan
TTV.
Intervensi
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri
termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
2) Observasi isyarat non verbal dari
ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
3) Gunakan tindakan lokal (berkumur,
menghisap, kompres hangat) untuk mengurangi sakit tenggorok.
4) Berikan analgetik dengan tepat.
5) Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur.
6) Ajarkan teknik non farmakologi
(misalnya: relaksasi, guide, imagery, terapi musik, distraksi).
2. Dx
2 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan secret
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan napas pasien
kembali efektif dengan kriteria hasil :
a. Menunjukkan jalan napas paten dengan
bunyi napas bersih.
b. Tidak ada dipsneu.
c. Sekret dapat keluar.
d. Mampu batuk efektif.
Intervensi
1) Kaji frekuensi atau kedalaman
pernapasan dan gerakan dada.
2) Auskultasi area paru, catat area
penurunan udara.
3) Bantu pasien latihan nafas dalam dan
melakukan batuk efektif.
4) Berikan posisi semifowler dan
pertahankan posisi pasien.
5) Lakukan penghisapan lendir sesuai
indikasi.
6) Kaji vital sign dan status respirasi.
7) Kolaborasi pemberian oksigen.
3. Dx
3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesulitan menelan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status nutrisi pasien
terpenuhi dengan Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan pemasukan nutrisi.
b. Mempertahankan berat badan.
c. Melaporkan keadekuatan tingkat energi.
d. Daya tahan tubuh adekuat.
Intervensi
1) Kaji status nutrisi pasien.
2) Ketahui makanan kesukaan pasien.
3) Anjurkan pasien makan sedikit demi
sedikit tapi sering.
4) Kaji membran mukosa dan turgor kulit
setiap hari untuk monitor hidrasi.
5) Timbang BB pada interval yang tepat.
6) Kolaborasi dengan tim gizi dalam
pemberian diet yang sesuai.
4. Dx
4 : Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, kesulitan bernapas
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dan keluarga
tidak mengalami kecemasan dengan Kriteria Hasil:
a. Monitor intensitas kecemasan.
b. Menurunkan stimulasi lingkungan ketika
cemas.
c. Menggunakan strategi koping efektif.
d. Mencari informasi untuk menurunkan
cemas.
e. Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan cemas.
Intervensi
1) Tenangkan Klien.
2) Jelaskan seluruh prosedur tindakan
kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan.
3) Berikan informasi tentang diagnosa,
prognosis, dan tindakan.
4) Temani pasien untuk mendukung keamanan
dan menurunkan rasa sakit.
5) Instruksikan pasien untuk menggunakan
metode/ teknik relaksasi.
5. Dx
5 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme infektif
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
sekunder dengan Kriteria Hasil:
a. Mengindikasikan status
gastrointestinal, pernapasan, dan imun dalam batas normal.
b. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
c. Berpartisipasi dalam perawatan
kesehatan.
d. Mampu mengidentifikasi faktor resiko.
Intervensi
1) Pantau tanda/gejala infeksi (suhu,
kulit, suhu tubuh, lesi, kulit, keletihan, malaise).
2) Kaji faktor yang meningkatkan serangan
infeksi (usia, tinggkat imun rendah, malnutrisi).
3) Pertahankan lingkungan aseptik dengan
teknik mencuci tangan yang baik.
4) Berikan diet bergizi sesuai kemampuan
anak untuk mengkonsumsi nutrisi untuk mendukung pertahanan tubuh alami.
5) Instruksikan pada keluarga pasien untuk
menjaga hygiene anaknya untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
6) Kolaborasi: pemberian antibiotic.
6. Dx
6 : Kurang pengetahuan b.d. keterbatasan informasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan pasien dan
keluarga tentang penyakitnya bertambah dengan Kriteria Hasil:
a. Mengenal tentang penyakit.
b. Menjelaskan proses penyakit.
c. Menjelaskan penyebab/faktor yang
berhubungan.
d. Menjelaskan faktor resiko.
e. Menjelaskan komplikasi dari penyakit.
f. Menjelaskan tanda dan gejala dari
penyakit.
Intervensi
1) Identifikasi pemberi pelayanan
keperawatan yang lain.
2) Identifikasi kemampuan pasien dan
keluarga dalam mengimplementasikan keperawatan setelah penjelasan.
3) Jelaskan peran keluarga dalam perawatan
yang berkesinambungan.
4) Jelaskan program perawatan medik
meliputi; diet, pengobatan, dan latihan.
5) Jelaskan rencana tindakan keperawatan
sebelum mengimplementasikan.
3.2 ASKEP
LARINGITIS
A. Pengkajian
1.
Identitas
Pasien
2.
Keluhan
Utama
a. Kx mengeluh demam,
b. mual-muntah,
c. sesak,
d. batuk,
e. pilek,
f. nyeri menelan dan pada waktu berbicara.
3.
Riwayat
Keperawatan
a.
Riwayat
Kesehatan Sekarang
Hal ini meliputi keluhan utama mulai sebelum ada keluhan
sampai terjadi demam, mual, muntah, sesak, bapil, serta nyeri menelan dan pada
waktu berbicara.
b.
Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
Kx merasa mual, muntah, demam, sesak, batuk, nyeri menelan
apakah terdapat hubungan dengan penyakit yang diderita sebelumnya.
c.
Riwayat
Kesehatan Keluarga
Hal ini meliputi tentang bagaimana kesehatan dalam keluarga,
apakah anggota keluarga yang menderita penyakit menular.
4.
Pemeriksaan
Fisik
a.
Keadaan umum, didapat saat Kx waktu
pengkajian misalnya keadaannya, kesadarannya, pemeriksaan TTV.
b.
Pemeriksaan kepala dan leher : Meliputi
kebersihan rambut, mukosa bibir kering, wajah Kx pucat dan menyeringai, tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid atau vena jugularis.
c.
Pemeriksaan integumen meluputi warna
kulit, turgor kulit, akral.
d.
Pemeriksaan sistem respirasi meliputi
frekuensi pernafasan, bentuk dada, pergerakan dada.
e.
Pemeriksaan sistem kardiovaskuler
meliputi irama, suara jantung.
f.
Pemeriksan sistem gastrointestinal.
g.
Pada Kx laringitis terjadi penurunan
nafsu makan dikarenakan adanya nyeri telan.
h.
Pemeriksaan muskuluskeletal meliputi
pergerakan ekstrimitas, terpasang infus ditangan.
i.
Pemeriksaan sistem endokrin : Tidak ada
yang mempengaruhi terjadinya laringitis dalam sistem endokrin.
j.
Pemeriksaan genitauria meliputi tidak
adanya dysuria, retensi urin, inkontinennya urin.
k.
Pemeriksaan sistem persarafan pada
umumnya motorik dan sensorik terjadi gangguan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terjadi sumbatan jalan nafas
berhubungan dengan sesak / penumpukan seret.
2. Nyeri yang berhubungan dengan iritasi
laring sekunder akibat infeksi.
C. Intervensi
1.
Dx
1 : Resiko terjadi sumbatan jalan nafas berhubungan dengan sesak
/ penumpukan seret.
Tujuan
: Jalan nafas kembali efektif dalam waktu ± 3 menit, dengan kriteria hasil :
a. Sesak
berkurang.
b. Tidak
ada suara nafs tambahan.
c. TTV
dalam batas normal.
Intervensi
1)
Lakukan pendekatan.
R/ Dengan dilakukan pendekatan dan
mempermudah dalam melakukan tindakan dan membina kepercayaan antara Px dan
perawat.
2)
Baringkan Px setengah duduk.
R/ Diharapkan Kx dapat bernafas dan
tidak sesak.
3)
Berikan O2.
R/ Diharapkan sesak berkurang.
4)
Kontrolkan jalannya tetasan infus tiap
jam dan catatlah dalam catatan khusus pemberian cairan.
R/ Tetesan cairan harus sesuai
yang dibutuhkan karena jika berlebihan dapat menambah sesak nafas.
5)
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat-obatan.
R/ Mempercepat proses penyembuhan.
2.
Dx
2 : Nyeri yang berhubungan dengan iritasi laring sekunder akibat
infeksi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, perilaku distraksi,gelisah.
Intervensi :
1) Berikan tindakan nyaman mis : pijtan
punggung, perubahan posisi, perbincangan, relaksasi/latihannafas.
R/:
Tindakan non analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memeperbesar efek terapi analgetik.
2) Tawarkan pembersihan mulut dengan
sering
R/: Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
R/: Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
3) Kolaborasi berikan analgesikdanantitusif
sesuai indikasi.
R/:
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/ paroksismal atau
menurunkan mukosa berlebihan,meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.
3.3 ASKEP
TONSILITIS
A. Pengkajian
1. Identitas
Pasien
2. Keluhan
Utama
a.
Biasanya
kx dengan Adenotonsilitis kronik akan mengalami nyeri telan,
b.
demam,
c.
badan
lesu,
d.
nafsu
makan berkurang (anorexia),
e.
hidung
buntu,
f.
tidur
mendengkur.
3. Riwayat
Keperawatan
a.
Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada
umumnya kx adenotonsilitis mengalami nyeri telan, peningkatan suhu tubuh,
anorexia (hilangnya nafsu makan).
b.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Sebelumnya
kx pernah sakit adenotonsilitis atau tidak, sebelumnya kx pernah masuk rumah
sakit atau tidak, nama penyebab penyakitnya.
c.
Riayayat Kesehatan Keluarga
Di
keluarga ada yang pernah menderita penyakit adenotonsilitis atau penyakit
tertentu (misal : TBC, DM, HT dll).
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum.
Biasanya
kx adenotonsilitis akan mengalami peningkatan suhu, tonsil membengkak dan
adanya nyeri tekan.
b. Kepala dan leher.
Adanya
pembengkakan pada tonsil, kemerahan pada tonsil, bibir kering, kriptus melebar
dan terisi detritus.
c. Tingkat kesadaran.
Kx
tidak mengalami gangguan kesadaran (compos mentis).
d. Tingkat respirasi.
Kx
tidak sesak (RR 20 kali/menit), tidak menggunakan alat bantu pernafasan, suara
nafas tambahan tidak ada.
e. Sistem thorak dan abdomen.
Tidak
terdapat kelainan, bentuk dada simetris, pada nafas teratur, pada daerah
abdomen tidak ditemukan nyeri tekan.
f. Sistem integuman.
Akral
hangat, turgor kulit baik, kelembaban kulit baik.
g. Sistem cardiovaskuler.
Pada
pemeriksaan jantung iramnya teratur, tidak didapatkan takikardia mapun
bradikardia.
h. Sistem gastrointestinal.
Lidah
kotor, nyeri telan, penurunan nafsu makan.
i.
Sistem
muskuluskeletal.
Tidak
ada gangguan otot pada anggota gerak.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan
dengan proses peradangan (inflamasi).
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri)
berhubungan dengan nyeri tenggorokan.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan nyeri telan, anorexia.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berdasarkan dengan jalan nafas karena adanya benda asing; produksi secret
berlebih.
C. Intervensi
1. Dx
1 : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan (inflamasi).
Tujuan : setalah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam suhu tubuh turun dengan kriteria hasil:
a. Tidak Terjadi Hipertermi.
b. TTV dalam batas normal.
Intervensi
1) Moniter tanda-tanda vital.
R/
peningkatkan suhu tubuh menandakan infeksi berlanjut.
2) Beri kompres dingin pada lipat ketiak,
dahi dan belakang kepala.
R/
perpindahan panas secara kenduksi.
3) Anjurkan pada penderita untuk memakai
pakaian tipis dan menyerap keringat.
R/
mempercepat proses evaparasi.
4) Atur ventilasi ruangan dengan baik.
R/
memperlancar sirkulasi udara.
5) Anjurkan penderita untuk minum sedikit
tapi sering.
R/
mempercepat evaparasi.
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian anti pinetik.
R/
menurunkan hipertermi.
2. Dx
2 : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan nyeri tenggorokan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam Nyeri berkurang dengan kriteria hasil :
a.
Kx
tidak menyeringai kesakitan.
b.
Kx
tenang.
c.
Skala
nyeri O .
Intervensi
1)
Tingkatkan
upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif seperti bantu Kx dengan
mengontrol kepala.
R/
menetralkan hiperkstensi, membantu mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan
menelan.
2)
Letakkan
Kx pada posisi / tegak selama dan setelah makan.
R/
menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan menurunkan resiko
terjadinya aspirasi.
3)
Anjurkan
Kx untuk makan / minum sedikit tapi sering.
R/
meningkatkan intake cairan dan makanan serta melatih kempuan menelan.
4)
Bila
perlu berikan cairan melalui IV dan atau makan selalui selang.
R/
memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika Kx tidak mampu untuk
memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
3. Dx
3 : Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
nyeri telan, anorexia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam Nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil :
a.
Cukup.
b.
Nafsu
makan meningkat.
Intervensi
1)
Kaji
kemampuan kx untuk mengunyah atau menelan.
R/
faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga kx harus terlindungi
dari aspirasi.
2)
Timbang
BB sesuai indikasi.
R/
mengevaluasi keefektifab atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
3)
Bersihkan
mulut kx sebelum dan sesudah makan.
R/
membersihkan sisa makanan dan memberikan rasa nyaman sehingga nafsu makan meningkat.
4)
Berikan
makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
R/
meningkat intake makanan dalam memenuhi kebutuhan tubuh.
5)
Konsultasi
dengan ahli gizi.
R/
merupakan sumber efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori / nutrisi tergantung
pada usia, BB, keadaan penyakit sekarang.
4. Dx
4 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berdasarkan dengan jalan nafas karena
adanya benda asing; produksi secret berlebih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam 1 x 24 jam ketidak efektifan jalan nafas dapat diatasi dengan
kriteria hasil :
a.
Dupria, Orthopnea, kranosis tidak ada.
b.
Ritme dan
frekuensi pernafasan alam batas normal.
c.
Gelisah dapat dikeluarkan.
d.
Tidak ada
suara nafas tambahan.
Intervensi
1)
Kajian
/ pantau frekuensi pernafasan.
R/
Takipnea
dapat ditemukan pada penerimaan atau selama adanya proses infeksi akut.
2)
Auskutasi bunyi nafas, cabit adanya bunyi nafas.
R/ Adanya obstruksi jln nafas dapat / tidak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius.
3)
Catat adanya dispnea, gelisah, ansiebis distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variable yang
tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan
perawatan dirumah sakit.
4)
Kajian pasien untuk posisi yang nyaman, mis : Peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian tempat tidur mempermudah fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
5)
Lakukan
oral hygiene dengan teratur.
R/
Oral
hygiene dapat mencegah proses infeksi berlanjut dan dapat mengontrol
pengeluaran secret.
6)
Bila
perlu lakukan suctioning.
R/
Suchoring
membantu pengeluaran secret pada pasien yang tidak mampu mengeluarkan secret
secara mandiri melalui bentuk efektif.
7)
Oksigenasi.
R/
Pemberian oksigen dapat membantu klien
mencukupi kebutuhan oksigen yang mungkin tidak tercukupi dengan baik akibat
obstruksi jalan nafas.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu
penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan oleh
bakteri atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
(Wikipedia.com).
Laringitis adalah peradangan yang terjadi pada pita suara
karena terlalu banyak digunakan, karena iritasi atau karena adanya infeksi.
Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot dan
membran mukosa yang membentuk pintu masuk dari batang tenggorok (trachea). Di
dalam kotak suara terdapat pita suara dua buah membran mukosa yang terlipat dua
membungkus otot dan tulang rawan.
Tonsilitis adalah infeksi atau peradangan pada tonsil. Tonsilitis akut
merupakan inveksi tonsil yang sifatnya akut, sedangkan tonsillitis kronik
merupakan tonsillitis yang terjadi berulang kali
4.2Saran
Melalui makalah ini diharapkan :
ü
Para pembaca dan masyarakat mampu memahami dan mengerti tentang penyakit
faringitis, laringitis dan tonsilitis ini.
ü
Para tenaga kesehatan mampu memberikan usulan keperawatan kepada pasien
secara profesional
ü
Disarankan agar masyarakat mampu menjaga kesehatan dengan menghindari
alasan yang bisa mengakibatkan penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran, ed 3, jilid 1. Jakarta: Media Ausculapius.
NANDA. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan
Nanda 2005-2006: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah.
2005. Perawatan Anak Sakit, ed 2. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik, ed.4. Jakarta: EGC.
Arif Mansjoer. Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid I, 2000, FKUI : Media Aesculapius,
Jakarta
lengkap banget nich askrpnya
BalasHapus