BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spina bifida adalah defek pada
penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi jaringan
melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003). Penyakit spina bifida atau sering
dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah salah satu penyakit yang banyak
terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula spinalis dimana ada suatu
celah pada tulang belakang (vertebra).
Hal ini terjadi karena satu atau beberapa bagian dari vertebra gagal menutup
atau gagal terbentuk secara utuh dan dapat menyebabkan cacat berat pada bayi,
ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal ini jelas
mengakibatkan gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk sistem
saraf pusat yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem
saraf manusia. Jika medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang
diatur oleh medula spinalis pasti juga akan terpengaruh dan akan mengalami
ganggusn pula. Hal ini akan semakin memperburuk kerja organ dalam tubuh
manusia, apalagi pada bayi yang sistem tubuhnya belum berfungsi secara
maksimal.
Fakta mengatakan dari 3 kasus yang
sering terjadi pada bayi yang baru lahir di Indonesia yaitu ensefalus,
anensefali, dan spina bifida, sebanyak 65% bayi yang baru lahir terkena spina
bifida. Sementara itu fakta lain mengatakan 4,5% dari 10.000 bayi yang lahir di
Belanda menderita penyakit ini atau sekitar 100 bayi setiap tahunnya. Bayi-bayi
tersebut butuh perawatan medis intensif sepanjang hidup mereka. Biasanya mereka
menderita lumpuh kaki, dan dimasa kanak-kanak harus dioperasi berulang kali.
Dalam hal ini perawat dituntut untuk
dapat profesional dalam menangani hal-hal yang terkait dengan spina bifida
misalnya saja dalam memberikan asuhan keperawatan harus tepat dan cermat agar
dapat meminimalkan komplikasi yang terjadi akibat spina bifida.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah
definisi dari spina bifida?
2) Bagaimana
etilogi dari spina bifida?
3) Apakah
manifestasi klinis dari spina bifida?
4) Bagaimana
patofisiologi pada spina bifida?
5) Bagaimana
penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida?
6) Bagaimana
pengkajian pada klien dengan spina bifida?
7) Bagaimana
diagnosa pada klien dengan spina bifida?
8) Bagaimana
intervensi pada klien dengan spina bifida?
1.3 Tujuan
1.
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit spina bifida serta
pendekatan asuhan keperawatannya.
2.
Tujuan Khusus
1)
Mengidentifikasi definisi dari spina
bifida.
2)
Mengidentifikasi etilogi spina bifida.
3)
Mengidentifikasi manifestasi klinis
spina bifida.
4)
Menguraikan patofisiologi spina bifida
5)
Mengidentifikasi penatalaksaan
serta pencegahan pada spina bifida
6)
Mengidentifikasi pengkajian pada klien
dengan spina bifida.
7)
Mengidentifikasi diagnosa pada klien
dengan spina bifida.
8)
Mengidentifikasi intervensi pada klien
dengan spina bifida.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang
penyakit neurologis spina bifida serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada
klien dengan spina bifida.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Medis
2.1.1 Definisi
Spina
bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus pascaerior
tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis
pada perkembangan awal embrio (Chairuddin Rasjad, 1998). Keadaan ini biasanya
terjadi pada minggu ke empat masa embrio. Derajat dan lokalisasi defek
bervariasi, pada keadaan yang ringan mungkin hanya ditemukan kegagalan fungsi
satu atau lebih dari satu arkus pascaerior vertebra pada daerah lumosakral.
Belum ada penyebab yang pasti tentang kasus spina bifida. Spina bifida juga
bias disebabkan oleh gagal menutupnya columna vertebralis pada masa
perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan
fusi tuba neural. Gangguan fusi tuba neural terjadi beberapa minggu (21 minggu
sampai dengan 28 minggu) setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum
diketahui dengan jelas.
2.1.2 Etiologi
Resiko
melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam
folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan. Penonjolan dari korda
spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada korda spinalis dan akar
saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian tubuh yang
dipersarafi oleh saraf tersebut atau di bagian bawahnya.
Gejalanya
tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi di
punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena penutupan
vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.
Penyebab spesifik spina bifida tidak
diketahui. Banyak faktor, seperti hereditas dan lingkungan diduga menjadi
penyebab terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap 4 minggu setelah
konsepsi. Hal berikut ini telah dietapkan sebagai factor penyebab: kadar
vitamin maternal randah, termasuk asam folat; mengkonsumsi klomifen dan asam
valproat; dan hiper termia selama kehamilan.Diperkirakan hampir 75 % defek tuba
neural dapat dicegah jika wanita yang bersangkutan meminum vitamin-vitamin pra
konsepsi, termasuk asam folat. Pada 95 % kasus spina bifida tidak ditemukan
riwayat keluarga dengan defek neural tube. Resiko akan melahirkan anak dengan
spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina
bifida. Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida seperti hidrosefalus,
siringomielia dan dislokasi pinggul.
2.1.3
Manifestasi
Klinis
Akibat
spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit, dan
saluran geniourinaria, tetapi semuanya bergantung pada bagian medulla spinalis
yang terkena.
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada
beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa
anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami
kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf
yang terkena.
Gejalanya berupa:
1) Penonjolan
seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika
disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
2) Kelumpuhan/kelemahan
pada pinggul, tungkai atau kaki
3) Penurunan
sensasi.
4) Inkontinensia
urin (beser) maupun inkontinensia tinja
5) Korda
spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
6) Seberkas
rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
7) Lekukan
pada daerah sakrum.
8) Abnormalitas
pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas
upper spine (arnold chiari
malformation) yang menyebabkan masalah koordinasi.
9) Deformitas
pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena imbalans kekuatan otot dan
fungsi.
10) Masalah
bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelakskan secara volunter otot
(sphincter) sehingga menahan urine
pada bladder dan feses pada rectum.
11) Hidrosefalus
mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat normal bila hirosefalus di
terapi dengan cepat.
Anak-anak dengan meningomyelocele
banyak yang mengalami tethered spinal cord. Spinal cord melekat pada jaringan
sekitarnya dan tidak dapat bergerak naik atau turun secara normal. Keadaan ini
menyebabkan deformitas kaki, dislokasi hip atau skoliosis. Masalah ini akan
bertambah buruk seiring pertumbuhan anak dan tethered cord akan terus teregang.
Obesitas oleh karena inaktivitas. Fraktur patologis pada 25% penderita spina
bifida, disebabkan karena kelemahan atau penyakit pada tulang. Defisiensi
growth hormon menyebabkan short statue
dan learning disorder. Masalah
psikologis, sosial dan seksual. Alergi karet alami (latex).
2.1.4
Penatalaksanaan
Medis
Penatalaksanaan pada penderita spina
bifida memerlukan koordinasi tim yang terdiri dari spesialis anak, saraf, bedah
saraf, rehabilitasi medik, ortopedi, endokrin, urologi dan tim terapi fisik,
ortotik, okupasi, psikologis perawat, ahli gizi sosial worker dan lain-lain.
Pembedahan
mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah ruptur.
Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi
hidrosefalus dilakukan pada saat kelahiran. Tandur alih kulit diperlukan bila
lesinya besar. Anak yang mengalami spina bifida beresiko tinggi mengalami
sensitisasi dan alergi terhadap lateks karena mereka terpajan terhadap
pembedahan dan prosedur yang memerlukan kontak sarung tangan secara langsung
terhadap pembuluh darah dan mukosa. Faktor resiko yang berkaitan dengan
terjadinya sensitisasi dan alergi terhadap lateks adalah diatesis atopik dan
sejumlah pembedahan. Anak yang mengalami alergi terhadap lateks memiliki gejala
klinis, sedangkan yang mengalami sensitisasi lateks mempunyai antibodi
immunoglobulin E tanpa gejala klinis. Anak yang mengalami alergi maupun
sensitisasi dianjurkan untuk menghindari kontak dengan lateks.
Antibiotik
profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang
dilakukan akan bergantung pada ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi
tersebut pada berbagai system tubuh. Selain itu, anak-anak dengan
mielomeningokel akan menjalani sejumlah pembedahan yang bergantung pada masalah
klinisnya, seperti medulla spinalis tercekik, masalah-masalah ortopedik, ulkus
dekubitus, dan pirau yang memerlukan revisi.
Pembedahan dilakukan secepatnya pada
spina bifida yang tidak tertutup kulit, sebaiknya dalam minggu pertama setelah
lahir. Kadang-kadang sebagai akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus
sementara atau menetap, karena permukaan absorpsi CSS yang berkurang. Kegagalan
tabung neural untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada
strukturnya setelah penutupan dapat dideteksi in utero dengan pemeriksaan
ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan
cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai
prosedur skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi;
terminology spina bifida digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi
SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina vertebrata.
Posisi tengkurap mempengaruhi aspek
lain dari perawatan bayi. Misalnya, posisi bayi ini, bayi lebih sulit
dibersihkan, area-area ancaman merupakan ancaman yang pasti, dan pemberian
makanan menjadi masalah. Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau
pemanas sehingga temperaturnya dapat dipertahankan tanpa pakaian atau penutup
yang dapat mengiritasi lesi yang rapuh. Apabila digunakan penghangat overhead,
balutan di atas defek perlu sering dilembabkan karena efek pengering dari panas
yang dipancarkan. Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap dengan
meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek tersebut.
Larutan pelembab yang dilakukan adalah salin normal steril. Balutan diganti dengan
sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus tersebut diamati dengan cermat
terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi. Sakus tersebut
harus dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau terkontaminasi.
Kadang-kadang sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada sakus meningkatkan
resiko infeksi pada system saram pusat.
Latihan rentang gerak ringan
kadang-kadang dilakukan untuk mencegah kontraktur, dan meregangkan kontraktur
dilakukan, bila diindikasikan. Akan tetapi latihan ini dibatasi hanya pada
kaki, pergelangan kaki dan sendi lutut. Bila sendi panggul tidak stabil,
peregangan terhadap fleksor pinggul yang kaku atau otot-otot adductor,
mempererat kecenderungan subluksasi.
Penurunan harga diri menjadi ciri khas
pada anak dan remaja yang menderita keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan
kemampuan seksualnya, penguasaan sosial, hubungan kelompok remaja sebaya, dan
kematangan serta daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih
berhubungan dengan persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan
yang sebenarnya ada pada remaja itu.
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan
bergantung pada kebutuhan klinis anak :
1. Antibiotic
: digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi saluran kemih (seleksi
bergantung pada hasil kultur dan sensivitas).
2. Antikolonergik
: digunakan untuk meningkatkan tonsus kandung kemih.
3. Pelunakan
feses dan laktasif : digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feses.
4. Obat
untuk mengendalikan atau mengatasi masalah-masalah medis dan kesehatan mental
lainnya, seperti epilepsy, depresi.
2.1.5
Patofisiologi
Ada
dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebra dari kolumna spinalis: spina
bifida okulta dan spina bifida sistika.
Spina
bifida okulta adalah defek penutupan dengan meninges tidak terpajan dipermukaan
kulit. Devek veterbalnya kecil, umumnya pada daerah lumbosakral. Kelainan
eksternal (terdapat 50% kasus) dapat berupa seberkas rambut, nevus atau
hemangioma. Suatu sinus pilonidal mungkin harus ditutup melalui pembedahan jika
sampai terinfeksi.
Spina
bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medulla
spinalis dan/atau pembungkusnya. Meningokel
adalah penonjolan yang terdiri dari atas meninges dan sebuah kantong berisi
cairan serebospinal (CSS); penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada
kelainan neurologis, dan medulla spinalis tidak terkena. Hidrosefalus terdapat
pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel umumnya terdapat di daerah
lumbosakral tau sacral. Koreksi bedah biasanya dilakukan saat lahir langsung
pada hari itu juga.
Mielomeningokel
adalah penonjolan meninges dan sebagaian medulla spinalis, juga kantong berisi
CSS. Mielomeningokel ialah jenis spina
bifida yang kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan
keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah.
Daerah lumbal atau lumbosakral merupakan daerah yang paling sering terkena.
Terjadinya gagguan ini pada daerah lumbosakral terdapat pada 42% kasus;
torakolumbal 27%; sacral 21%; dan torakal atau servikal pada 10% kasus. Bayi
dengan mielomeningokel mudah terkena cederah selama proses kehamilan.
Hidrosefalus terjadi pada hampir semua anak yang menderita spina bifida
(80%-90%); kira-kira 60%-70% anak-anak tersebut memiliki IQ normal, tetapi
gangguan kemampuan berpikir konseptual sering terjadi. Anak dengan
mielomeningokel dan hidrosefalus menderita malformasi system saraf pusat lain,
dengan deformitas Arnold-Chiari yang paling sering. Intervensi bedah biasanya
dilakukan pada saat lahir dengan bedah saraf untuk pemasangan pirau guna
mencegah hidrosefalus baru (dilakukan sekitar 7 minggu sebelum lahir) telah
menunjukkan kemungkinan untuk menurunkan gejala spina bifida.
2.2Konsep Keperawatan
2.2.1
Pengkajian
A. Anammesa
1.
Identitas pasien : Nama, jenis kelamin,
umur, alamat, nama ayah, nama ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu.
2.
Keluhan utama : Terjadi abnormalitas
keadaan medula spinalis pada bayi yang baru dilahirkan.
3.
Riwayat penyakit sekarang
4.
Riwayat penyakit terdahulu
5.
Riwayat keluarga : Saat hamil ibu
jarang atau tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung asam folat misalnya
sayuran, buah-buahan (jeruk,alpukat), susu, daging, dan hati.
6.
Ada anggota keluarga yang terkena spina
bifida.
B. Pemeriksaan
Fisik
1.
B1 (Breathing) : normal
2.
B2 (Blood) : takikardi/bradikardi,
letargi, fatigue
3.
B3 (Brain) :
ü Peningkatan
lingkar kepala
ü Adanya
myelomeningocele sejak lahir
ü Pusing
4.
B4 (Bladder) : Inkontinensia urin
5.
B5 (Bowel) : Inkontinensia
feses
6.
B6 (Bone) :
Kontraktur/ dislokasi sendi, hipoplasi ekstremitas bagian bawah
2.2.2
Diagnosa
1. Risiko
tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka operasi
2. Berduka
berhubungan dengan kelahiran anak dengan spinal malformation
3. Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kebutuhan positioning, defisit
stimulasi dan perpisahan
4. Risiko
tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
5. Resiko
tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)
6. Risiko
tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan dengan
paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses.
2.2.3
Intervensi
1. Dx
1 : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka
operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam pasien/anak bebas dari infeksi, pasien menunjukan respon neurologik yang
normal.
Kriteria
hasil :
Suhu
dan TTV normal, luka operasi insisi bersih.
Intervensi :
1)
Monitor tanda-tanda vital. Observasi
tanda infeksi : perubahan suhu, warna kulit, malas minum, irritability,
perubahan warna pada myelomeingocele.
R/ : Untuk melihat
tanda-tanda terjadinya resiko infeksi
2)
Ukur lingkar kepala setiap 1 minggu
sekali, observasi fontanel dari cembung dan palpasi sutura kranial.
R/
: Untuk melihat dan mencegah terjadinya TIK dan hidrosepalus
3)
Ubah posisi kepala setiap 3 jam untuk
mencegah dekubitus
R/
: Untuk mencegah terjadinya luka infeksi pada kepala (dekubitus)
4)
Observasi tanda-tanda infeksi dan
obstruksi jika terpasang shunt, lakukan perawatan luka pada shunt dan upayakan
agar shunt tidak tertekan
R/: Menghindari
terjadinya luka infeksi dan trauma terhadap pemasangan shunt
2. Dx
2 : Berduka berhubungan dengan kelahiran anak dengan spinal malformation
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam orang tua dapat menerima pasien/anaknya
sebagai bagian dari keluarga
Kriteria
hasil :
ü Orangtua
mendemonstrasikan menerima pasien/anaknya dengan menggendong, memberi minum,
dan ada kontak mata dengan anaknya
ü Orangtua
membuat keputusan tentang pengobatan
ü Orangtua
dapat beradaptasi dengan perawatan dan pengobatan pasien/anaknya
Intervensi
:
1)
Dorong orangtua mengekspresikan
perasaannya dan perhatiannya terhadap pasien/bayinya, diskusikan perasaan yang
berhubungan dengan pengobatan anaknya
R/ : Untuk meminimalkan
rasa bersalah dan saling menyalahkan
2)
Bantu orangtua mengidentifikasi aspek
normal dari pasien/bayinya terhadap pengobatan
R/ : Memberikan
stimulasi terhadap orangtua untuk mendapatkan keadaan bayinya yang lebih baik
3)
Berikan support orangtua untuk membuat
keputusan tentang pengobatan pada pasien/anaknya
R/ : Memberikan
arahan/suport terhadap orangtua untuk lebih mengetahui keadaan selanjutnya yang
lebih baik terhadap bayi
3. Dx
3 : Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kebutuhan
positioning, defisit stimulasi dan perpisahan
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawata 1x 24 jam pasien/anak mendapat stimulasi
perkembangan
Kriteria
hasil :
ü Pasien/bayi/anak
berespon terhadap stimulasi yang diberikan
ü Pasien/bayi/anak
tidak menangis berlebihan
ü Orangtua
dapat melakukan stimulasi perkembangan yang tepat untuk pasien/bayi/anaknya
Intervensi
:
1)
Ajarkan orangtua cara merawat pasien/bayinya
dengan memberikan terapi pemijatan pada pasien/bayi
R/ : Agar orangtua
dapat mandiri dan menerima segala sesuatu yang sudah terjadi
2)
Posisikan pasien/bayi prone atau miring
kesalaha satu sisi
R/ : Untuk mencegah
terjadinya luka infeksi dan tekanan terhadap luka
3)
Lakukan stimulasi taktil/pemijatan saat
melakukan perawatan kulit
R/ : Untuk mencegah
terjadinya luka memar dan infeksi yang melebar disekitar luka
4. Dx
4 : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam pasien/anak tidak mengalami
trauma pada sisi bedah/lesi spinal
Kriteria
Hasil:
ü Kantung
meningeal tetap utuh
ü Sisi
pembedahan sembuh tanpa trauma
Intervensi
:
1)
Rawat pasien/bayi dengan cermat
R/ : Modifikasi
aktifitas keperawatan rutin (mis : memberi makan, memberi kenyamanan)
2)
Tempatkan pasien.bayi pada posisi telungkup
atau miring
R/ : Untuk mencegah
kerusakan pada kantung meningeal atau sisi pembedahan, untuk meminimalkan tegangan
pada kantong meningeal atau sisi pembedahan
3)
Gunakan alat pelindung di sekitar
kantung ( mis : slimut plastik bedah)
R/ : Untuk memberi
lapisan pelindung agar tidak terjadi iritasi serta infeksi dan mencegah
terjadinya trauma
5. Dx
5 : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x24 jam pasien/anak tidak mengalami
peningkatan tekanan intrakranial
Kriteria
Hasil :
ü Pasien/anak
tidak menunjukan bukti-bukti peningkatan TIK
Intervensi
:
1)
Observasi dengan cermat adanya
tanda-tanda peningkatan TIK
R/ : Untuk mencegah
keterlambatan tindakan
2)
Lakukan pengkajian Neurologis dasar
pada praoperasi
R/ : Sebagai pedoman
untuk pengkajian pascaoperasi dan evaluasi fungsi firau
3)
Hindari sedasi
R/ : Karena tingat
kesadaran adalah pirau penting dari peningkatan TIK
4)
Ajari keluarga tentang tanda-tanda
peningkatan TIK dan kapan harus memberitahu
R/ : Praktisi
kesehatan untuk mencegah keterlambatan tindakan
6. Dx
6 : Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan
dengan paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien/anak tidak mengalami
iritasi kulit dan gangguan eleminasi urin
Kriteria
hasil :
ü kulit
tetap bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi dan gangguan eleminasi.
Intervensi
:
1)
Jaga agar area perineal tetap bersih
dan kering dan tempatkan pasien/anak pada permukaan pengurang tekanan.
R/
: Untuk mengrangi tekanan pada lutut dan pergelangan kaki selama posisi
telengkup
2)
Masase kulit dengan perlahan selama
pembersihan dan pemberian lotion.
R/ : Untuk
meningkatkan sirkulasi.
3)
Berikan terapi stimulant pada pasien/bayi
R/ : Untuk memberikan
kelancaran eleminasi
terima kasih atas infonya...
BalasHapus